Pasangan yang baru menikah satu bulanan itu akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama dengan bepergian berdua saja. Maklum semenjak menikah jangankan untuk honeymoon, untuk tinggal bersama saja baru mereka rasakan kurang lebih sepuluh hari dalam sebulan pernikahan tersebut. Itu karena sang suami masih harus melanjutkan pendidikannya di luar kota. Sedangkan si istri masih terikat kontrak kerja di sebuah kota kecil nan damai. Akhirnya ketika mereka diberi kesempatan untuk bersua, maka digunakan kesempatan itu untuk berjalan-jalan. Tempat tujuan yang mereka pilih adalah sebuah danau di daerah pegunungan kota sebelah.
Dengan menggunakan sepeda motor mereka menempuh perjalanan itu. Tidak ada rasa lelah, karena berbekal rasa euphoria pasangan baru yang lama tidak ketemu. Melintasi jalanan yang naik turun dan berkelok-kelok. Damainya hati mereka berdua diiringi sejuknya udara pegunungan yang mulai merambah. Akhirnya dalam satu jam perjalanan itu, sampailah mereka berdua ke tempat yang mereka tuju. Setelah berbincang-bincang di pinggir danau, menikmati kuliner setempat sambil membicarakan harapan dan impian mereka ke depan, mendaki lereng bukit dan menikmati pemandangan danau di bawah mereka akhirnya tak terasa hari beranjak siang juga. Maka mereka putuskan untuk mengakhiri petualangan hari itu dan segera mencari musholla terdekat untuk mengadukan segala kebahagiaan kepada Sang Pemilik semua keindahan di dunia ini. Segera setelah selesai semua ritual suci itu, maka melajulah mereka berdua untuk kembali pulang. Namun ketika baru saja keluar dari tempat wisata tersebut, si istri melihat tempat tujuan wisata lain yang tidak kalah menarik. Sebuah air terjun di lereng gunung. Dengan sedikit bujuk rayu sang suami pun akhirnya meluluskan permintaan si istri untuk singgah ke tempat tersebut. Dengan berjalan kaki mereka memulai petualangan barunya.
Subhanallah…pemandangan di sepanjang jalan itu begitu mempesona. Hamparan pohon pinus terlihat di seberang berjajar rapinya menyelimuti lereng gunung. Hijau dihiasi kabut yang samar-samar. Sementara di sudut yang lain terlihat hamparan lahan perkebunan wortel yang terlihat siap panen. Belum lagi aliran sungai jernih di sebelah jalan yang mereka lalui. Betapa girang mereka berdua berada di tengah-tengah hamparan sutra bernuansa hijau itu. Namun lama-kelamaan mereka didera pertanyaan sama yang berulang-ulang mereka kemukakan terhadap satu sama lain. Kapan perjalanan ini berakhir? Menyeberangi jembatan, mendaki jalan yang berbatu begitu lamanya baru mereka sampai ke tempat yang dituju. Namun ternyata tidak seindah yang dibayangkan sebelumnya. Ternyata air terjun itu adalah sebuah aliran air yang tidak begitu deras (karena mungkin bertepatan dengan musim kemarau). Maka setelah istirahat sejenak akhirnya mereka memutuskan kembali turun untuk beranjak pulang. Di tengah-tengah perjalanan yang menakjubkan itu si istri berceletuk karena lelah dan luar biasanya medan perjalanan tersebut. Bagaimana seandainya kalau aku saat ini hamil? Melewati jalanan yang penuh tantangan seperti ini? Naik turun gunung, lelah fisik sampai perut terasa kram. Dan ternyata pikiran itu juga sempat terlintas dalam pikiran sang suami. Tapi dengan tersenyum kecil pada akhirnya mereka yakin kalau itu hanya angan-angan saja. Karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda kehamilan pasti pada si istri.
Satu bulan setelah perjalanan yang menakjubkan itu, pasangan suami istri tersebut telah kembali pada aktifitas masing-masing. Sang suami sudah kembali pergi ke luar kota beberapa hari setelah honeymoon singkat itu untuk melanjutkan merangkai cita-citanya, sementara si istri kembali disibukkan pekerjaan sehari-harinya. Di suatu hari si istri tersebut mengalami flek-flek seperti awal haid yang dialaminya tiap bulan. Dengan rasa sedikit kecewa, dia berusaha menerima kenyataan kalau dirinya memang belum saatnya diberi amanah indah berupa kehamilan. Maka dengan berbesar hati dia tetap melanjutkan hari-harinya. Namun dua hari berselang sejak keluar flek-flek tersebut, tamu bulanannya terlihat belum nampak juga. Bahkan berhenti sama sekali. Dengan berbekal ilmu yang sedikit dia ketahui, maka dilakukannya tes uji kehamilan. Allah…ternyata positif samar! jika dihitung-hitung umur kehamilan saat ini adalah enam minggu. ini berarti ketika mendaki lereng gunung tersebut usia kehamilan si istri sudah empat minggu. Dengan segera dia kabarkan berita ini kepada sang suami yang saat itu sedang dipusingkan dengan persiapan acara besar di kampusnya. Berita tersebut bagaikan melebur segala penat sang suami. Dan karena khawatir sempat mengalami flek-flek, maka si istri dengan ijin sang suami segera kontrol ke dokter kandungan untuk memeriksa kehamilannya. Jawaban sang dokter membuat dag dig dug si istri tersebut, karena kata dokter kehamilan tersebut belum jelas. Maka saran selanjutnya adalah menunggu satu bulan untuk dilakukan USG ulang dengan harapan gambaran kehamilan dapat dilihat lebih jelas.
Setelah pasti diagnosa kehamilan pada pemeriksaan selanjutnya, maka si istri kembali melewati hari-harinya yang sibuk dengan penuh semangat. Ada sesuatu di rahimnya yang akan menemaninya menjalani aktifitasnya sekarang. Minggu demi minggu dilalui, tidak ada keluhan berarti kecuali mual muntah yang sangat bisa ditolerir. Kehamilan itu tidak lantas mensurutkan langkahnya dalam menjalani hari-harinya. Saat kehamilan awal, pinggang dan perutnya sering menjadi tumpuan kaki bagi pasien-pasien yang melahirkan, saat kehamilan semakin membesar tidak jarang si istri tersebut membantu mendorong pasien naik ke lantai dua menuju kamar operasi (karena kasus emergensi). Di trimester akhir kehamilan dia pernah menggotong seorang ibu yang koma karena kejang, naik ke meja setinggi perut orang dewasa untuk mengambil peralatan medis emergensi yang tersimpan di lemari bagian atas, bahkan berlari-larian di tengah malam buta untuk mencari-cari pasien yang melarikan diri. Rasa khawatir selalu terlintas dalam pikirannya, belum lagi kontraksi-kontraksi kecil yang dialaminya saat kelelahan, dan yang paling menyesakkan adalah jauhnya kontak fisik dengan sang suami yang dicintainya. Tapi dengan penuh keyakinan, dia selalu berbicara pada janin kecilnya kalau memang seperti inilah tugas ibunya. Maka dia meminta si janin dalam rahim itu untuk membantu dirinya, mengajaknya ikhlas didera seperti itu, karena semua ini untuk menolong sesama.
Akhirnya dua minggu menjelang berakhirnya kehamilan datang juga. Saatnya evaluasi akhir untuk si janin kecil. Tapi terhenyak ketika dokter meberitahukan bahwa janin si kecil mampunyai berat badan di bawah normal. Perasaan mengharu biru menyelimuti si calon ibu. Dia menyalahkan dirinya yang kurang memberi kesempatan bagi dirinya sendiri untuk istirahat. Lelah fisik dan pikiran diduganya menjadi penyebab bayinya tidak mencapai batas berat normal semestinya. Belum lagi saran dari sang dokter untuk melakukan induksi persalinan jika pada hari taksiran persalinan si bayi belum juga mau lahir. Hal ini dikarenakan jumlah cairan ketubannya sudah berkurang. Hari-hari selanjutnya adalah jadwal makan es krim sebanyak-banyaknya. Sampai bosan si calon ibu tersebut dengan yang namanya es krim.
Tiga hari sebelum hari taksiran persalinan dia mulai merasakan kontraksi yang semakin sering dan teratur, namun setelah diperiksakan ternyata masih pembukaan satu. Pulang kembali si calon ibu tersebut ke rumah, dan bersamaan hari itu juga dia baru mengambil cuti untuk melahirkan. Karena takut dengan saran dokter untuk melakukan induksi kalau kehamilannya lewat waktu (dan karena induksi itu rasanya luar biasa sakit) maka dengan sok tahunya si calon ibu tersebut mencoba minum air rendaman rumput Fatimah yang konon katanya bisa memperlancar proses persalinan. Tidak tanggung-tanggung dua gelas besar besar (FYI: JANGAN PERNAH DITIRU !). Tapi kontraksi yang ditunggu-tunggu tidak juga datang bahkan menghilang. Pasrahlah si calon ibu tersebut dengan kehendak Sang Maha Kuasa.
Dua hari kemudian dia mulai merasakan kontraksi yang sering dan kuat, maka sore itu berangkatlah ke rumah sakit untuk memeriksakan kemajuan persalinannya. Alhamdulillah sudah pembukaan tiga. Namun rasa sakitnya semakin berasa. Membuat si calon ibu tersebut yang sebenarnya kuat menahan sakit sampai menangis, padahal masih pembukaan tiga. Belakangan si ibu tersebut baru mengetahui kalau rumput Fatimah sangat tidak disarankan untuk diminum karena merangsang kontraksi yang luar biasa kuat , sering, serta sakit melebihi induksi persalinan, tapi tidak efektif mempengaruhi pembukaan. Dan itu terbukti dengan baru lahirnya si bayi keesokan paginya setelah semalaman berjuang melawan rasa sakit yang luar biasa. Benar-benar pengalaman yang menguras energi. Alhamdulillah bayi itu akhirnya lahir tepat dengan hari taksiran kelahirannya. Dan beratnya mencapai tepat batas normal berat bayi baru lahir yaitu dua setengah kilogram.
Mengacu pada perjalanan si bayi tersebut sejak awal kehamilan sampai persalinan yang penuh dengan tantangan tapi tak menyurutkan langkahnya untuk terlahir ke dunia menemui kedua orang tuanya, maka diberi nama si bayi tersebut dengan nama yang mengandung makna kokoh atau tangguh serta istimewa. Ya…TSABITA MUMTAZA nama yang dipilihkan kedua pasangan suami istri tersebut untuk buah hatinya. Berharap ke depannya di akan menjadi wanita sholehah yang tangguh dan dengan keistimewaannya dia akan mampu membawa perubahan baik bagi dunia. Menjadi ibu yang tangguh bagi putra putrinya. Menjadi sosok wanita yang sangat istimewa dalam keluarganya. Ya, karena kau memang begitu tangguh dan istimewa.
* untuk Tsabita Mumtaza yang menjelang dua tahunnya benar-benar telah menjadi sosok yang tangguh dan istimewa. Belajarlah untuk menjadi kakak yang semakin tangguh dan istimewa ya nak !
urun rembug: